Islam dan Pengembangan Teknologi

Oleh: Imam Adzro’i

Hukum Moore yang diperkenalkan oleh Gordon E. Moore mengatakan bahwa, kompleksitas suatu kecepatan mikroprosesor akan meningkat dua kali lipat setiap 18 bulan sekali. Perkembangan sekarang dengan teknologi nano, semakin meningkatkan kompleksitas mikroprosesor dalam waktu yang lebih singkat. Berpijak pada Hukum Moore, para peniliti di dunia industri telekomunikasi dan aplikasi komputer akan terus meningkatkan produknya sesuai dengan material yang dibutuhkan prosesor yang terus memiliki kemampuan yang semakin tinggi. Semakin meningkatnya kompleksitas prosesor dalam waktu yang semakin singkat, maka akan diikuti oleh semakin meningkatnya perkembangan teknologi yang lain, dan hampir semua teknologi modern menggunakan komputer dan prosesor.

Gambaran kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang empiris tersebut menjadi tantangan bagi banyak agama, terutama Islam untuk terus menyesuaikan diri dan menunjukkan bahwa tradisi masih relevan untuk hari ini ( al-Islam al-shalih li kulli zaman wa makan). Walapun, perkembangan teknologi dan agama bukanlah suatu yang harus terus dipertentangkan relevansinya, karena pada dasarnya keduanya bersumber dari nilai yang sama. Federick Ferre dalam bukunya Technology and Religion (2006), memahamkan teknologi sebagai implementasi praktis dari kecerdasan, yang merupakan suatu materi untuk mengekspresikan nilai-nilai. Itulah mengapa teknologi berhubungan dengan agama, secara positif, negatif atau netral, karena agama juga merupakan nilai dan ide.
Kaitannya dengan teknologi , Islam adalah agama, masyarakat, dan peradaban. Ketiga pengertian itu, Islam adalah sumber perspektif unik yang mempunyai hubungan antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan etika. Sebagai sebuah agama, Islam menjunjung tinggi pengetahuan sebagai kunci untuk keselamatan, baik itu keselamatan individu maupun keselamatan sosial. Sebagai sebuah peradaban, Islam berusaha untuk mempromosikan kepentingan seluruh umat manusia (rahmatan li al-alamin) dengan meletakkan diri pada suatu perspektif yang universal, berpijak pada kemaslahatan bersama dan toleransi dengan pemeluk agama lain.

Sikap Terhadap Perkembangan Teknologi

Menempatkan Islam sebagai yang shalih li kulli zaman wa makan membawa perdebatan dalam dunia Islam, yaitu bagaimana berurusan dengan dengan ilmu pengetahuan modern tanpa menyerah pada godaan saintisme sekuler (Guiderdoni, 2003). Saintisme yang bersumber dari Barat menimbulkan sikap yang negatif terhadap teknologi dengan menuding sebagai produk kapitalis, bid’ah, dan sekuler. Osman Bakar dalam Islamic Perspectives:Encyclopedia of Science, Technology, and Ethics (2005) menyatakan masalah etika tersebut terjadi pada etika Islam Tradisional yang dihadapkan pada isu-isu pengetahuan dan teknologi yang bukan merupakan hasil karya muslim sendiri.

Permasalahan lain tentang sikap Islam terhadap perkembangan teknologi adalah, tentang masa depan sains yang semakin logis dan teknologi yang semakin praktis, sehingga Islam sering dipaksa untuk mempertimbangkan secara serius nilai-nilai keyakinan dan tujuan keagamaan agar berjalan selaras dengan nilai-nilai dan keyakinan dari ilmu pengetahuan dan teknologi.

Seperti yang ditulis oleh Osman Bakar (2005) bahwa, kita sebagai umat Islam memiliki sikap yang tidak menganggap ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai yang paling penting dari semua cabang pengetahuan, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang Eropa dan Amerika Utara. Mereka memandang ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya dasar pengetahuan yang dapat diandalkan dan memandang teknologi sebagai cara terbaik untuk memecahkan masalah manusia. Memang, dalam prespektif Islam ilmu pengetahuan tidak pernah bisa menggantikan metafisika dan teologi, dan teknologi tidak pernah bisa menggantikan syari’ah sebagai penyedia terbaik dan solusi untuk masalah individu dan masalah sosial manusia. Muslim menempatkan baik itu syari’ah atau ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai seuatu yang diperlukan untuk keselamatan masyarakat, dan keduanya harus bergabung dalam frame etika dan hukum syari’at. Syari’ah, yang terutama didasarkan pada ajaran Qur’an dan hadits, dianggap oleh umat Islam menjadi sumber yang paling penting dari nilai-nilai etika dan prinsip-prinsip untuk membimbing tindakan manusia. Islam menempatkan batasan ketat pada teknologi dengan syara’ dan menyesuaikannya untuk kepentingan praktis. Ilmu pengetahuan dan teknologi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka untuk meningkatkan martabat manusia dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT.

Islam dan Motivasi Pentingnya Pengembangan Teknologi

Tradisi Islam menekankan pencarian pengetahuan (‘ilm), bahkan dalam hadits pencarian pengetahuan itu hukumnya wajib dan dituntut untuk mencari sejauh mungkin hingga sampai ke negeri China. Tradisi itu ditopang oleh sekitar 750 ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya, dan memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam ini. Quraisyi Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an juga menuliskan bahwa kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan.
Ratusan ayat Al-Qur’an yang banyak memotivasi tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi itu diantaranya adalah perintah untuk memperhatikan apa yang ada di langit dan di bumi ( QS. 9:101), tantangan untuk menggunakan teknologi dalam menjelajah penjuru langit (QS. 55:33), teknologi pembuatan bahtera oleh nabi Nuh (QS. 11:38), penciptaan langit dan bumi dan bergantianya siang malam merupakan tanda bagi orang yang berakal (QS. 3: 190), ilmu pengetahuanlah yang membuat Nabi Adam lebih unggul daripada para malaikat yang kemudian disuruh untuk sujud ( QS. 2:31), motivasi untuk mencari ilmu (QS.20:114), beberapa fenomena alam (QS. 2: 164) dan masih banyak lagi ayat lain yang menganjurkan dan menjelaskan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi. Al-Qur’an juga berulang kali memerintahkan kita untuk selalu menggunakan akal pikiran kita, afalaa taqiluun, afalua tazakkaruun. Ayat-ayat qauliayah tersebut memerintahkan kita untuk membaca fenomena alam atau yang disebut ayat kauniyyah, tanda-tanda kebesaran Allah SWT di alam semesta. Prespektifnya ialah untuk menegaskan keunikan Ilahi yang menjamin kesatuan pengetahuan yang benar antara pengetahuan agama dengan sains dan teknologi yang mengarah kembali kepada Allah SWT.

Dalam Islam, teknologi berfungsi sebagai kemudahan untuk membantu melakukan aktifitas manusia yang bermanfaat ( QS. 21:107), alat untuk mengeksplorasi (QS. 55:33), alat untuk kemajuan dakwah dan kemajuan Islam ( QS. 8:60), dan sebagai sarana untuk lebih mengenal Allah (QS. 88: 17-21), (QS.41:53). Tentunya segala penggunaan tegnologi tersebut jangan sampai berakibat pada rusaknya alam ( QS. 30:41).

Selain beberapa ayat Al-Qur’an di atas, banyak konsep yang diturunkan oleh banyak tokoh Muslim yang peka melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti Ismail Raji Al-Faruqi dengan konsep islamisasi ilmu pengetahuan, Fazlur Rahman dengan Islamisasi penuntut ilmu, Sayyid Hossein Nasr dengan sains Islam, dan masih banyak lagi. Namun, di bulan Ramadhan ini marilah kita berefleksi secara mandiri untuk kembali memotivasi diri tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi, sebagaimana ayat pertama yang turun pada Bulan Ramadhan ini adalah perintah untuk membaca (Iqra’). Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. 96:1-5).

Tulisan ini di muat di Suara Muria, Suara Merdeka Senin, 29 Juli 2013 dengan judul “Islam Dorong Pengembangan Teknologi”