Oleh: Dr. A. Dimyati, M.Ag*
Isu geo-politik kontemporer Islam menjadi salah satu sorotan utama pada perhelatan Halaqah Fiqh Peradaban yang diselenggarakan oleh PBNU di Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) pada tanggal 23 Desember 2023 yang lalu. Pemilihan isu tersebut dilatar belakangi oleh pertimbangan strategis, dimana umat Islam saat ini hidup dalam sebuah tatanan global bersama umat lain di berbagai kawasan. Hal ini menegaskan bahwa berbicara tentang geo-politik Islam selalu berkaitan dengan aspek geografis, politik, kebijakan dan strategi yang diterapkan berbagai negara Islam dalam konteks tatanan global saat ini (Anggoro, 2004). Dalam tatanan global, umat Islam tidak dapat menghindari interaksi kompetitif. Sayangnya sampai hari ini sebagian umat Islam masih terjebak dalam nostalgia kejayaan di masa lalu. Padahal faktanya saat ini terjadi pembalikan situasi di mana umat Islam tertinggal jauh dari umat lain, khususnya bangsa-bangsa Barat.
Secara realistis harus diakui bahwa untuk mengejar Barat melalui kekuatan militer, sains dan teknologi, atau beberapa poros kekuatan baru di beberapa kawasan melalui kekuatan ekonomi dan teknologi bukanlah perkara mudah untuk tidak mengatakan mustahil. Sebab Barat telah memegang kendali atas tatanan dunia global dengan menciptakan instrumen pengendali seperi World Bank, IMF bahkan PBB. Mereka menentukan kebenaran dan menilai dunia lain melalui standar yang mereka ciptakan sendiri. Sementara pesaing mereka melakukan hal yang sama dengan menggalang kekuatan regional atau multilateral melalui Kerjasama politik-ekonomi. Lahirnya poros baru Brazil, Russia, India, China, and South Africa (BRICS) digadang-gadang akan menjadi penyeimbang hegemoni Barat yang telah berlangsung kurang lebih dua abad (Priangani, 2015).
Pilihan yang tersedia bagi negara-negara Islam tidak banyak, antara berpihak kepada salah satu poros kekuatan dengan konsekuensi tunduk pada sistem yang mereka buat, atau menemukan faktor-faktor keunggulan Islam dan membangun kembali kekuatan tanpa terjebak pada medan pertarungan dua kekuatan yang sedang bersaing. Sikap terbuka terhadap Barat sebagai konsekuensi dari perubahan geo-politik Islam kontemporer, hendaknya diimbangi dengan sebuah kesadaran bahwa Barat secara sosial baik, tetapi secara politik jahat (West is socially good, politically bad).
Ada alasan penting mengapa kesadaran ini harus dipupuk, terutama bahwa bagaimanapun relasi Islam-Barat selama ini dideterminasi oleh sentimen politik dan ekonomi. Ketika negara-negara Barat mendekati dunia Islam tidak sepenuhya dilandasi cara pandang yang setara. Sebaliknya, mereka membawa kepentingan untuk memperkokoh supremasi politik dan mendapatkan akses sumber daya ekonomi dari negara-negara berkembang untuk meningkatkan volume perdagangan barang dan jasa, tidak terkecuali negara-negara Islam. Dalam pandangan mereka kepentingan tersebut dianggap wajar dan konsekuensi dari globalisasi (Staff, 2008).
Cara pandang dan kepentingan tersebut terlihat dengan jelas jika bercermin dari penolakan keras sebagian masyarakat Barat terhadap sikap akomodatif pemerintahnya terhadap Islam. Sebagai contoh, mereka yang tergabung dalam ultra-nasionalis melihat potensi bahaya di balik penerimaan terhadap imigran muslim. Kasus penghinaan terhadap kitab suci al-Qur’an, Nabi Muhammad dan simbol-simbol Islam lainnya masih sering terjadi. Sikap ultranasionalis yang sampai hari ini masih berkembang di Barat dikhawatirkan dapat mengkristal menjadi kebijakan negara dan dampaknya membahayakan posisi Islam dan pemeluknya.
Oleh karena itu, dalam upaya membangun peradaban Islam yang baru ada beberapa hal penting yang direkomendasikan:
Pertama, melakukan perubahan fundamental terhadap cara pandang umat Islam terhadap dirinya. Umat Islam harus disadarkan tentang realitas kontemporer bahwa saat ini Barat lebih unggul dalam banyak aspek. Perubahan ini dimulai dari mengupayakan perumusan fiqh baru yang lebih progresif. Kajian-kajian terhadap pemikiran ulama nusantara, seperti gagasan fiqh sosial Kiai Sahal Mahfudh perlu didorong sebagai alternatif dari paradigma fiqh klasik yang bersifat dikotomik, hitam-putih. Fiqh klasik yang masih memandang non muslim sebagai “musuh” dengan penyematan istilah seperti kafir harbi, dzimmi dan musta’man. Fiqh masih memaknai istilah-istilah tersebut dalam perspektif teologis sebagai orang yang tidak beriman (Cawidu, 1991). Perlu interpretasi yang lebih tepat terhadap istilah-istilah tersebut sesuai konteks sekarang. Pemilihan literatur ulama nusantara yang kaya dirasa lebih kontekstual dengan latar sosio-historis umat Islam di Indonesia.
Kedua, menerapkan prinsip merangkul kawan maupun lawan secara tepat (keep your friend close, but keep your enemy closer). Umat Islam tidak boleh terjebak pada persaingan kekuatan Barat dan Timur yang saat ini saling berhadap-hadapan. Sebab, keberpihakan pada salah satu kekuatan berimplikasi pada terseretnya umat Islam pada konflik global. Prinsip merangkul ini mendorong umat Islam untuk bertindak secara cerdas, bahwa model relasi global mengarah pada kerjasama multi-lateral yang menuntut kemauan bersikap terbuka dan berkolaborasi dengan semua pihak, baik kawan maupun lawan. Sudah barang tentu penerapan prinsip ini dilandasai pada semangat jalbul mashalih, merealisasikan kemashalahan sebesar-besarnya bagi umat Islam.
Ketiga, menggalang konsolidasi negara-negara Islam baik Arab maupun non-Arab untuk bersama-sama membangun kekuatan berdasarkan keunggulan dan keunikan masing-masing. Negara-negara Islam Arab memiliki keunggulan dari aspek identitas dan sejarah yang kuat. Selain itu beberapa di antaranya seperti Arab Saudi, Uni Emirate Arab, Kuwait dan Bahrain saat ini telah menjelma menjadi pusat bisnis global bahkan memiliki pendapatan per kapita tertinggi di dunia (Tengah, 2022). Sementara Islam non Arab unggul dalam hal sumber daya alam, struktur sosial yang plural, serta kemampuan beradaptasi dengan perbedaan. Kolaborasi negara-negara Islam tersebut jika dapat dikonsolidasi akan menjelma menjadi kekuatan raksasa yang mengimbangi Barat dan Timur.
Keempat, yang terpenting dari semuanya adalah kesadaran bahwa membangun peradaban Islam haruslah diikuti dengan akumulasi atau penguasaan sumber daya dan mobilisasi kapital. Hanya dengan cara tersebut supremasi Islam, khususnya di Indonesia dapat ditegakkan kembali. Oleh karenanya, diperlukan upaya-upaya serius bagi umat Islam untuk mempersiapkan diri dalam penguasaan dan mobilisasi kapital serta efek ganda yang ditimbulkannya. Efek ganda yang dimaksud berupa penguatan infrastruktur kerjasama antar negara Islam dan meningkatnya daya saing pada masing-masing negara.
*Dr. A. Dimyati, M.Ag, Wakil Rektor I Bidang Akademik Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Pati.
Bibliography
Anggoro, K. (2004). Geopolitik, Pengenalan Ruang Laga dan Strategi Pertahanan Indonesia dalam Rangka Memperkokoh Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: Kuaternita Adidarma.
Cawidu, H. (1991). Konsep Kufur dalam Al-Qur’an, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, H. (1985). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
Priangani, A. (2015). Perkembangan BRICS (Brazil, Russia, India, China and South Africa) dalam Kancah Ekonomi Politik Global. Jurnal Kebangsaan, 36.
Staff, I. (2008, May 8). Globalization, A Brief Overview. Retrieved from imf.org/external: https://www.imf.org/external/np/exr/ib/2008/053008.htm
Tengah, D. T. (2022). Laporan Kinerja 2022. Jakarta: Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.