Oleh: Jamal Ma’mur Asmani
Pengurus Wilayah NU Jawa Tengah akan mengadakan Musyawarah Kerja Wilayah besok pada hari jum’at-ahad, 20-22 April 2018. Dalam Muskerwil ini, langkah terberatnya adalah meneguhkan Islam Nusantara dan melepaskan diri dari tarikan kepentingan politik praktis menjelang Pilgub Jateng 2018. Ancaman radikalisme sudah di depan mata.
Bahkan, hasil riset kementerian agama tahun 2017 menyatakan, anak-anak muda sudah terjangkiti oleh bahaya radikalisme dengan perantara organisasi rohis di OSIS.
Muskwewil ini harus meneguhkan komitmen NU pada Islam Nusantara untuk mengikis habis bibit-bibit radikalisme yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Islam Nusantara inilah yang merawat dan melestarikan khazanah budaya lokal yang ada di seluruh tanah air.
Para ulama NU sejak dulu telah berjuang untuk melestarikan budaya yang berkembang di bumi Nusantara dengan jalan islamisasi budaya. Artinya budaya yang berkembang di masyarakat diisi dengan nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam dan menghilangkan ajaran yang mengarah kepada kemusyrikan, kekufuran, dan kesesatan. Strategi ini adalah bentuk kecerdasan dan fleksibilitas para ulama NU dalam berdakwah sehingga Islam bisa diterima dengan legowo oleh para penduduk Nusantara tanpa ada gejolak, resistensi, dan konfrontasi.
Hal ini sesuai dengan QS. Ali Imran 3:159: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Penduduk Nusantara tidak melihat Islam yang dibawa ulama NU sebagai ancaman yang membahayakan eksistensi budaya lokal yang mereka warisi dari nenek moyang. Mereka tetap bisa mengamalkan ajaran Islam tanpa tercerabut dari akar budaya yang sudah turun temurun. Islam datang justru merawat dan mengembangkan budaya lokal dengan menghilangkan unsur-unsur yang dilarang. Dalam agama terdapat kaidah al’adatu muhakkamah, budaya menjadi sumber hukum Islam.
Dalam teori ushul fiqh, ‘adat (budaya) dibagi empat.
Pertama, ‘adat lama yang mengandung kemaslahatan secara substansial karena ‘adat tersebut terdapat unsur manfaatnya dan tidak ada unsur madharatnya, atau unsur manfaatnya lebih besar dari unsur maḍaratnya. ‘Adat ini diterima penuh dalam Islam, seperti diyat (uang tebusan darah) yang harus dibayar pelaku pembunuhan kepada keluarga yang terbunuh. Kebiasaan ini berlaku di masyarakat Arab sebelum Islam dan diteruskan Islam.
Kedua, ‘adat yang mengandung kemaslahatan substansial, namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap baik oleh Islam. ‘Adat ini diterima dengan perubahan dan penyesuaian yang dibutuhkan, seperti kebiasaan ẓihar, yaitu ucapan suami yang menyamakan punggung istrinya dengan ibunya sendiri. Setelah melakukan ẓihar ini, suami dan istri tidak diperbolehkan berhubungan dan hubungan mereka sebagai suami istri menjadi terputus. Islam menerima kebiasaan ini namun dengan penyesuaian, yaitu setelah suami melakukan dhihar tidak boleh melakukan hubungan kelamin, namun tidak menyebabkan putusnya perkawinan. Jika keduanya ingin berhubungan lagi, maka diwajibkan terlebih dahulu membayar kafārah (tebusan karena melakukan pelanggaran).
Ketiga, ‘adat yang mengandung unsur mafsadah (merusak), karena dalam ‘adat tersebut ada unsur perusak dan tidak ada manfaatnya, atau ada manfaatnya tapi lebih banyak merusak. Islam menolak keras ‘adat ini, seperti berjudi, minum-minuman keras, dan praktek riba (rentenir).
Keempat, ‘adat yang tidak mengandung unsur yang merusak dan tidak bertentangan dengan ajaran agama, namun belum diserap dalam agama, secara langsung atau tidak langsung. Para ulama menggunakan ‘adat ini sebagai dasar penetapan hukum dengan nama yang tidak sama. Misalnya, menentukan arti dan batasan pada tempat simpanan dalam hukuman pencurian, arti berpisah dalam khiyar majlis, waktu dan kadar haid, dan lain-lain.
Untuk mengamalkan ‘adat ini, ada beberapa syarat.
Pertama, ada maslahat dan diterima oleh akal sehat.
Kedua, berlaku umum dan merata di kalangan orang yang ada di lingkungan ‘adat tersebut.
Ketiga, ‘adat tersebut sudah ada terlebih dahulu, bukan ‘adat yang lahir kemudian. Keempat, tidak bertentangan dengan dalil agama dan prinsip agama yang pasti (Amir Syamduddin, 2008:368-377).
Keterangan di atas menyatakan, Islam Nusantara adalah strategi dakwah para ulama NU yang mempunyai pondasi teori yang kuat dalam ushul fiqh yang menjadi metodologi istimbath hukum yang autentik, sehingga jauh dari kesan bid’ah muharramah (bid’ah yang diharamkan) dan image negatif yang lain.
Islam Nusantara meneguhkan keberislaman dalam konteks keindonesiaan yang plural sehingga Islam Nusantara menjamin budaya toleransi, persaudaraan, kerukunan, dan persatuan nasional sesuai dengan filosofi Binneka Tunggal Ika, unity in diversity. Perbedaan agama, suku, ras, dan golongan tidak boleh menjadi faktor terjadinya permusuhan dan perpecahan, tapi justru dijadikan sebagai potensi positif untuk berkembang secara produktif.
Pribumisasi Islam Nusantara akan mengokohkan persatuan bangsa dan mengikis benih-benih radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme yang bersumber dari ajaran agama yang dipahami secara tekstual, rigid, dan eksklusif. Bahaya laten ideologi radikal masih menjadi ancaman nyata bangsa ini karena kelompok radikal terus melakukan metamorphose gerakan untuk menyamarkan diri, tapi substansinya sama, yaitu memperjuangkan Negara Islam dan menegakkan hukum formal Islam yang mengancam kebinnekaan bangsa.
Kader-kader muda Islam yang meneruskan pendidikan di perguruan tinggi umum yang pemahaman agamanya masih dangkal menjadi sasaran utama gerakan Islam radikal. Kader-kader muda Islam ini perlu dibekali dengan pemahaman agama yang komfrehensif, sehingga bisa menilai ajaran yang menyimpang dan benar dan terhindar dari agitasi kelompok garis keras yang ingin menanamkan ideologi takfir (menuduh orang lain kafir sehingga halal darahnya).
Muskerwil NU ini harus menjadi momentum untuk menunjukkan kepada bangsa Indonesia khususnya dan dunia umumnya bahwa Islam adalah agama yang menebarkan kasih sayang kepada seluruh penduduk (rahmatan lil-alamin), bukan agama yang menebarkan permusuhan, pemberangusan budaya lokal, dan mengambil nyawa orang lain secara tidak berperikemanusiaan. Islam menjamin hak-hak asasi manusia secara penuh dan akan melawan setiap ajaran yang merusak persaudaraan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam konteks Indonesia, Pancasila dan UUD 1945 adalah wujud nyata Islam Nusantara yang digagas oleh para ulama NU, khususnya KH. Abdul Wahid HAsyim bersama founding fathers bangsa. Mereka menyadari bahwa bangsa ini tidak mungkin berbasis satu agama tertentu, karena realitasnya plural dan heterogen, sehingga lahirnya Pancasila dan UUD 1945 tidak lepas dari cita-cita luhur para founding fathers yang ingin mempertahankan NKRI dari segala rongrongan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
*Peneliti Pusat Studi Pesantren dan Fiqh Sosial IPMAFA Pati, Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (Asosiasi Pondok Pesantren NU) Jawa Tengah
Sumber: Tribun Jateng, Jum’at, 20 April 2018