Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
Berita Terbaru

MPBA IPMAFA Terima Kunjungan Studi Banding STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta

Tingkatkan Kualitas, Dosen Magister PBA IPMAFA Adakan Ijtima’ Tansiqiy

Dirkamsel Korlantas Polri Bahas Program Keselamatan Berkendara di IPMAFA

Kembangkan Prodi, Fakultas Syari’ah IPMAFA Lakukan Kunjungan ke UIN Sunan Kalijaga

IPMAFA Hadiri Pembukaan AICIS 2024 di UIN Walisongo Semarang

Meneguhkan Islam Nusantara
Share
WhatsApp
Facebook
Twitter

Jamal-makmurOleh Jamal Ma’mur Asmani

Selasa, 16 Rajab 1436 H, bertepatan 5 Mei 2015, Nahdlatul Ulama (NU) memeringati Hari Ulang Tahun yang ke- 92. Berdiri pada 16 Rajab 1344 H di Surabaya, NU sudah menegaskan diri sebagai organisasi yang toleran terhadap pluralitas budaya dan perbedaan pendapat dalam sistem bermadzhab.

NU datang bukan untuk memberangus budaya lokal yang tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara, tapi justru membimbingnya supaya sarat dengan nilai-nilai spiritual yang tinggi.

Pendekatan kebudayaan ini terbukti efektif sehingga mampu menarik perhatian masyarakat yang asalnya beragama Hindu-Budha kemudian masuk Islam tanpa terlepas dari akar budaya nenek moyang yang sudah mengakar. Strategi inilah yang dipilih Walisongo dan diteruskan para ulama NU sampai sekarang.

Gagasan pribumisasi Islam dan fiqh sosial yang dicetuskan oleh KH Abdurrahman Wahid dan KH MA Sahal Mahfudh adalah dalam rangka membumikan nilai-nilai keislaman dalam ranah sosial budaya secara sinergis dan integratif, tidak dalam posisi kontradiktif dan antagonistik.

Dalam kaidah fiqh terdapat doktrin ëAl-ëAdatu Muhakkamahí, kebiasaan masyarakat, yaitu budaya lokalnya, menjadi sumber hukum dalam Islam. Budaya lokal yang dimaksud adalah budaya lokal yang unsur-unsurnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam (Nurcholis Madjid, 2000:550).

Selametan yang menjadi budaya nenek moyang yang asalnya menjadi media memohon kepada ruh-ruh halus diubah Walisongo menjadi acara berdoa memohon kepada Allah yang sarat dengan nilai-nilai ibadah. Maka lahirnya budaya tahlilan, manakiban, sedekah bumi, mitoni, dan lain-lain yang isinya sarat dengan nilai-nilai Islam, seperti membaca Alquran, shalawat Nabi, memuji Allah, membaca tahlil, dan berdoa adalah buah perjuangan Walisongo.

Bentuk formalnya menggunakan warisan budaya lokal, tapi substansinya sarat dengan ajaran Islam. Walisongo mampu mengubah warisan budaya Hindu-Budha dengan inovasi kreatif sehingga diterima masyarakat (Agus Sunyoto, 2011:242-246). Dalam kaidah fiqh ada ”al-ibratu fil maíani la fil mabani”, yang dijadikan ukuran adalah substansinya, bukan bangunan lahirnya.

Karena pemahaman mendalam terhadap syariat Islam substansial inilah, para ulama NU, khususnya trio pendekarnya dari Jombang, KH M Hasyim Asyíari, KH Abdul Wahab Hazbullah, dan KH Bisyri Syamsuri, tidak mendukung berdirinya Negara Islam. Mereka mendukung Pancasila sebagai rumusan final bangsa Indonesia dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika atau ‘unity in diversity’.

Pancasila adalah wujud Islam substansial, bukan Islam formal. Islam substansial mendorong umat Islam untuk menghargai pemeluk agama lain dalam konteks berbangsa dan bernegara, seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika mengelola Negara Madinah yang menerbitkan Piagam Madinah ”Madinah Chapter” yang isinya melindungi seluruh warga yang terdiri dari berbagai agama, etnis, dan golongan.

Bahkan, demi Indonesia tercinta, KH M Hasyim Asyíari mengeluarkan fatwa jihad pada 22 Oktober 1945 yang membakar semangat kaum santri untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dari keinginan Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah kembali Indonesia.

Fatwa jihad Kiai Hasyim terbukti efektif menggerakkan semangat kaum santri untuk melawan penjajah dan menjadi sumber utama kemenangan bangsa dalam menumpas penjajah dalam perang besar di Surabaya pada 10 November 1945 yang kemudian pada setiap 10 November diabadikan sebagai hari pahlawan (Said Aqil Siraj, 2012:437). Kemerdekaan bangsa memang menjadi salah satu tujuan berdirinya NU, di samping motivasi keagamaan dan mempertahankan Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah (Sumanto al-Qurthuby, 2014:6- 8).

Semangat Kebangsaan

Momentum Harlah Ke-92 NU ini seyogianya mendorong seluruh elemen NU, baik pengurus maupun warganya untuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan yang menghargai pluralitas agama, budaya, etnis, dan golongan. Keislaman dan keindonesiaan adalah dua entitas yang harus bersinergi dan berkolaborasi demi kejayaan negeri, bukan dua entitas yang saling menegasikan satu dengan yang lain.

Pluralitas adalah sunnatullah yang tidak bisa ditolak, justru harus dijadikan potensi besar bangsa untuk maju di berbagai aspek kehidupan. Bekerja sama antarelemen bangsa lintas agama, baik di bidang ekonomi, kebudayaan, pendidikan, ilmu dan teknologi, politik, dan sosial menjadi kunci kebangkitan bangsa di masa depan. Perasaan saling curiga, negative thinking, dan merasa superior dibanding yang lain hanya menjadi benih konflik yang kontraproduktif bagi kemajuan bangsa.

Ekspansi ideologi transnasionalisme, seperti IS dan ideologi radikal lainnya harus ditangkis dengan idealogi toleran dan moderat ala NU yang meneguhkan diri sebagai Islam Nusantara dengan ciri utama mengapresiasi keragaman budaya Nusantara, dengan melakukan spiritualisasi nilai-nilai yang dikandung di dalamnya, sehingga terwujud integrasi agama dan budaya dalam satu performance yang indah dan harmonis.

Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945 adalah harga mati bagi NU demi keutuhan dan kejayaan bangsa Indonesia. Dalam doktrin NU, cinta tanah air adalah tanda iman (hubbul wathan minal iman). Jika seseorang tidak mencintai tanah airnya, bahkan mengotorinya dengan nama agama, sungguh dia telah menodai agama dengan pemahaman dan tindakan yang menyimpang dari agama itu sendiri.

Agama Islam yang dijunjung tinggi NU disebarkan dengan nilai-nilai kasih sayang, kedamaian, persaudaraan, kelenturan dan ketentraman, bukan dengan sikap menyerang, menyesatkan, menganiaya, dan bahkan sampai membunuh orang lain.

NU meneladani dakwah Nabi Muhammad saw. yang mengedepankan akhlakul karimah dalam segala hal sehingga beliau menjadi uswah hasanah (teladan yang baik). Nabi tidak marah diludahi dan dicaci maki, justru beliau suka memaafkan kesalahan orang, mendoakannya, dan mengajak mereka bermusyawarah dalam segala urusan. Keteladan Nabi membuat orang-orang kafir kagum sehingga mereka masuk Islam dengan penuh kesadaran, bukan paksaan dan ancaman.

Sejarah Nabi harus dipahami dengan benar, sehingga tidak menjadikan Islam sebagai agama yang misinya merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara yang bertentangan dengan ajaran Islam yang suci dan agung. (81)

— Jamal Ma’mur Asmani, peneliti Fiqh Sosial Institute Staimafa Pati, Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (Asosiasi Pondok Pesantren NU) Jawa Tengah

Sumber: Suara Merdeka Online