NU dan Radikalisme Agama

Oleh Jamal Ma’mur Asmani

NUmenggelar Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar di NTB 23-25 November 2017 bertema ”Memperkokoh Nilai Kebangsaan Melalui Gerakan Deradikalisasi dan Penguatan Ekonomi Warga”. Acara itu momentum terbaik mengokohkan gerakan moderatisme melawan fenomena radikalisme agama yang meningkat.

Sejak berdiri, NU memosisikan diri sebagai lawan radikalisme agama yang disimbolkan oleh gerakan Wahabi yang tekstualis, rigid, dan ekstrem. Komite Hijaz yang dibentuk para ulama NU sebagai embrio kelahiran NU adalah respons cepat atas kebijakan Pemerintah Arab Saudi beraliran Wahabi yang melarang sistem bermazhab dalam agama, dan kebijakan yang ingin menghancurkan bangunan makam para nabi dan orang-orang saleh. NU berdiri juga dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Ancaman radikalisme agama sekarang sudah ada di depan mata. Beberapa cirinya yang membahayakan bangsa; pertama, memahami Alquran dan hadis secara tekstual tanpa mengaitkan dengan aspek historis- sosiologis, dan tanpa mengkaji interpretasi ulama kecuali yang menjadi imamnya, contohnya Muhammad bin Abdul Wahhab, Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Ibn Taimiyah, dan Ibn al-Qayyim.

Kedua, memaksakan kehendak menggunakan cara-cara kekerasan dengan kekuatan massa menjadi andalan. Ketiga, menganggap hukum negara sebagai hukum kafir yang harus diganti dengan Islam berdasarkan Alquran dan hadis. Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika adalah hal-hal yang bertentangan dengan Islam, sehingga harus diganti dengan ideologi mereka.

Keempat, menganggap pemimpin mereka sebagai orang yang terjaga dari dosa dan salah (maksum), sehingga apa yang disampaikan diyakini kebenarannya dan harus dipatuhi secara absolut. Membantah perintahnya adalah dosa dan harus dihukum.

Kelima, mempunyai agenda politik kekuasaan, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang. Agenda itu biasanya sangat dominan, sehingga gerakan kelompok radikal kerap ditunggapi aktor-aktor politik dengan agenda politik tersembunyi berkedok agama.

Secara simplisistik, kelompok radikal berafiliasi dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir atau aliran Wahabi yang mengakar kuat di Arab Saudi. Menurut Syekh Abi al- Fadl bin Syaikh Abdus Syakur al- Senori dalam kitab Syarh Kawakib al- Lammaíah fi Tahqiq al-Musamma bi Ahlissunnah Wal Jamaíah, ajaran Wahabi adalah: pertama, menetapkan wajah, tangan, dan arah kepada Allah SWT dan menjadikan laksana badan yang bisa naik dan turun.

Kedua, mendahulukan dalil naqal atas akal dan tidak boleh merujuk kepada akal dalam masalah-masalah agama. Ketiga, menafikan ijma’ dan mengingkari. Keempat, menafikan qiyas. Kelima, tidak boleh taklid kepada imam-imam mujtahid dari imamimam agama dan mengafirkan orang yang mengikuti mereka. Keenam, mengafirkan umat Islam yang berbeda dengan mereka. Ketujuh, melarang tawassul kepada Allah dengan Rasul SAWatau dengan orang lain dari para nabi, wali, dan orang-orang saleh. Kedelapan, mengharamkan ziarah kubur para Nabi dan orang-orang saleh. Kesembilan, mengafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah dan menganggap sebagai musyrik. Kesepuluh, mengafirkan orang yang nazar pada selain Allah atau menyembelih di samping makam para nabi dan orang-orang saleh.

Sepuluh ciri kelompok Wahabi dan kelompok radikal lainnya menunjukkan secara jelas mereka adalah kelompok antitradisi dan antinasionalisme, karena mereka mengingkari ijmaí (konsensus) yang dihasilkan oleh para ulama mujtahid yang mempunyai otoritas keilmuan agama. Apalagi konsensus bangsa Indonesia yang menetapkan Pancasila sebagai dasar negara, pasti mereka ingkari karena tidak berdasarkan Alquran dan hadis secara eksplisit.

NU sebagai lokomotif gerakan Islam moderat harus proaktif mengembangkan paradigma dan aksi moderasinya melawan eskalasi kelompok radikal yang semakin masif di negeri ini. Beberapa langkah yang harus dilakukan adalah: pertama, melakukan pencerahan intelektual kepada seluruh warga NU, khususnya kader-kader mudanya tentang relasi Islam dan nasionalisme, supaya ada pemahaman komprehensif yang mengarah kepada afirmasi ideologi Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.

Kedua, mendorong warga NU terlibat langsung dalam pembangunan bangsa sesuai dengan bidangnya, baik pendidikan, ekonomi, kebudayaan, maupun politik kebangsaan.

Ketiga, membangun politik kebangsaan berasaskan nilai-nilai fundamental, yakni persatuan, persaudaraan, keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, dan keadaban. Politik seperti itulah yang dibangun Nabi Muhammad di Madinah yang terekam dalam dokumen sejarah sebagai Piagam Madinah. Dalam proses itu, dialog intensif menjadi jembatan antarkelompok, khususnya kelompok radikal.

NU sebagai kekuatan utama Islam moderat di Indonesia yang memiliki jaringan dari pusat sampai daerah punya tanggung jawab besar membangun dialog konstruktif dengan kelompok- kelompok radikal tentang isu-isu besar, antara lain keadilan ekonomi dan hukum, hak asasi manusia, dan Islam rahmatan lil alamin. (17)

—Jamal Ma’murAsmani, pengurus RMI-NU Jateng, peneliti Pusat Studi Pesantren dan Fiqh Sosial IPMAFA

http://www.suaramerdeka.com/…/17171/NU-dan-Radikalisme-Agama