Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
Berita Terbaru

IPMAFA MENJADI TUAN RUMAH PELANTIKAN PENGURUS 17 LEMBAGA PCNU PATI

PELATIHAN BERKISAH: METODE KREATIF UNTUK MAHASISWA PIAUD IPMAFA

LPPM IPMAFA Gelar Workshop Penulisan Artikel Jurnal Internasional Bersama Prof. Dr. Ilyas Supena

Mahasiswa PBA IPMAFA Jadi Presenter dalam Seminar Internasional PPPBA 2024

SEMINAR GESTA SEASON 2: AI DALAM PENDIDIKAN, TRANSFORMASI BELAJAR, DAN TANTANGAN ETIKA AKADEMIK

Permainan Penawaran Harga
Share
WhatsApp
Facebook
Twitter

Tanya:
Saya pernah diajak oleh teman untuk berpura-pura menawar dagangannya supaya orang lain juga terpancing menawar. Apakah yang demikian itu diperbolehkan dalam Islam?

(Yeyen, Dukuhseti Pati)

Jawab:
Berpura-pura melakukan penawaran atas suatu dagangan dengan tujuan mempengaruhi orang lain untuk ikut membeli atau menaikkan tawarannya disebut dengan bai najsy atau bai al-itsrah. Dalam praktiknya, penjual biasanya menciptakan penawaran palsu (false demand) atas barang yang dijual.

Praktik seperti ini banyak macamnya, misalnya dengan membuat publikasi penawaran di media-media elektronik, lalu ada banyak penelepon yang ingin membeli secara online dan dinyatakan bahwa jumlah barang terbatas.

Ada juga yang menjual dengan menyatakan besok atau bulan depan terjadi kenaikan harga. Bahkan ada yang melibatkan pihak lain untuk datang menawar barang yang sudah ditawar oleh calon pembeli lain.

Dengan adanya penawaran palsu tersebut, calon pembeli akan bersedia membeli dengan harga yang lebih mahal. Akibatnya harga yang terbentuk tidak mencerminkan harga sesungguhnya. Sebagai contoh, umumnya harga 1 kilogram mangga Rp 10.000, ditawarkan Rp 12.000, lalu ada pembeli yang menawar Rp 10.000 sesuai harga pasar.

Pada saat terjadi proses tawar-menawar, tiba-tiba datang pembeli palsu yang bersedia membeli dengan harga Rp 11.000. Dengan adanya tawaran yang lebih tinggi, tentu si calon pembeli pertama terpancing untuk menaikkan tawaran, misalnya Rp 12.000. Jika akhirnya disepakati harganya Rp 12.000, berarti pembeli membayar lebih mahal dari harga normal.

Dalam Islam terdapat beberapa pendapat tentang bai najsy. Ibnu Qudamah mengharamkan dengan alasan mengandung unsur penipuan (gharar). Sedangkan Ahmad Ibn Hanbal menghukumi batal (bathil) dan merusak akad.

Sebab dalam Islam akad bisa dianggap sah jika ada unsur kerelaan dari kedua pihak, padahal di dalam bai najsy pembeli mau membayar lebih tinggi karena ditipu. Oleh karena itu dianggap tidak terpenuhinya unsur kerelaan. Sebagian ulama membolehkan bai najsy karena melihat bahwa rukunnya terpenuhi, yaitu ada penjual, pembeli, barang, harga dan ijab-kabul. Adapun unsur kerelaan sudah terwakili oleh adanya ijab dan kabul.

(Ruslan Nurhadi, 2006, Jual Beli Yang Dibolehkan Dan Yang Dilarang, Pustaka Ibn Katsir) Membandingkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan pihak yang melarang bai najsy tidak hanya melihat dari aspek formalnya saja, yaitu terpenuhinya rukun jual-beli, tapi menilai lebih dalam dengan memperhatikan akibat yang ditimbulkan, yaitu terbentuknya harga yang tidak wajar. Pendapat yang mengharamkan ini lebih sesuai dengan ekonomi Islam.

Sebab jika mengikuti pendapat yang membolehkan, tentu akan berdampak pada maraknya praktik-praktik kecurangan. Jika bai najsy dilakukan oleh banyak orang, atau dilakukan secara terusmenerus tentu akan terjadi kenaikan harga dan memicu inflasi.

Sedangkan inflasi termasuk penyakit ekonomi yang akan membebani masyarakat karena melemahkan daya beli. Selain itu, dalam hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan Al- Bukhari dari jalur Ibnu Umar secara tegas menyatakan: ‘’Rasulullah Saw telah melarang jual beli najsy’’. Wallahu alam. (H15-45)

Sumber: Koran Suara Merdeka