PILGUBJateng 2018 yang memunculkan dua figur NU menarik untuk dicermati. KH Taj Yasin yang berpasangan dengan petahana Ganjar Pranowo adalah putra ulama karismatik KH Maimun Zubair. Tokoh muda ini mempunyai elektabilitas tinggi karena pengaruh besar ayahnya yang mempunyai jaringan santri yang sangat mengakar di Jawa Tengah, khususnya di wilayah pantai utara (pantura). Jaringan Pesantren Sarang tentu menjadi modal politik yang sangat kuat bagi Gus Yasin.
Sementara itu, Ida Fauziyah yang berpasangan dengan Sudirman Said adalah mantan Ketua Umum Fatayat NU Pusat yang tentu saja mempunyai basis massa perempuan muda di seluruh Indonesia, termasuk di Jawa Tengah. Keduanya adalah aset NU yang sangat berharga yang harus dijaga dalam waktu yang panjang demi kemajuan NU dan bangsa secara keseluruhan.
Menghadapi Pilgub ini dibutuhkan kedewasaan dan kematangan warga NU dalam memilih calonnya sehingga tidak ada politik adu domba dan menghalalkan segala cara yang menyebabkan perang saudara yang kontraproduktif bagi kemajuan NU dan bangsa.
Kontestasi yang diharapkan bukan kontestasi yang berbasis emosional, tapi kontestasi berbasis program yang berkualitas, sehingga calon yang mempunyai rekam jejak yang baik dan program kerja yang berkualitaslah yang berhak dipilih untuk kemajuan Jateng. Jika seseorang memilih pemimpin karena faktor nepotisme subjektif maka dia dianggap berkhianat dan akan mempertanggungjawabkannya di dunia dan akhirat.
Kriteria pemimpin ideal ala NU sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah karya Al-Mawardi, adalah pemimpin yang adil, mempunyai ilmu untuk memutuskan hukum dan menyelesaikan setiap masalah yang datang, sehat jasmani, khususnya panca indra, tidak mempunyai cacat yang membuatnya lemah dalam bergerak dan bangkit, mempunyai kemampuan mengatur rakyat dan mewujudkan kemaslahatan, mempunyai keberanian dan keterampilan dalam menjaga wilayah dan memerangi musuh, dan mempunyai garis keturunan dari Quraish.
Al-Mawardi mencantumkan keturunan Quraish menunjukkan pentingnya nasab, selain kualitas dan integritas. Namun pentingnya nasab ini ditempatkan di akhir, sehingga prioritasnya adalah kualifikasi di atasnya yang menunjukkan nilai-nilai kebenaran universal.
Tanggung jawab paling berat NU sekarang adalah menjaga khitah. Menurut KH MA Sahal Mahfudh (1999), khitah adalah garis perjuangan NU yang menjadi rujukan utama dalam berpikir, bersikap, dan mengambil keputusan dalam berorganisasi.
Kebangsaan dan Keumatan
Dalam khitah NU disebutkan, NU tidak berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan politik kekuasaan. Politik NU adalah politik kebangsaan dan keumatan yang langsung bersentuhan dengan akar rumput dalam bidang penguatan karakter, pembinaan akidah, peningkatan kualitas pendidikan, pemberdayaan ekonomi umat, revitalisasi kebudayaan, dan pengembangan layanan sosial umat.
Dalam konteks Pilgub ini, seyogianya seluruh jajaran pengurus NU, dari pusat, wilayah, cabang, majelis wakil cabang, hingga ranting, tidak terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam pemenangan, seperti menjadi tim sukses.
Jika hal ini terjadi, maka akan terjadi polarisasi di internal warga NU yang sangat kontraproduktif bagi stabilitas dan keharmonisan warga NU. Ukhuwwah Nahdliyyah (kerukunan antarwarga NU) akan tercederai dan menjadi pembelajaran negatif bagi bangsa.
Warga NU seharusnya belajar kepada konsistensi dan komitmen KH MASahal Mahfudh, Rais Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2014) dalam memegang khitah sampai akhir hayat. Penulis masih ingat pada Pilgub Jateng 2007 yang melibatkan tokoh NU, KH MA Sahal Mahfudh melarang fotonya disandingkan dengan salah satu tokoh NU yang kebetulan menjadi kontestan.
Kiai Sahal ingin memberikan pelajaran bahwa khitah NU itu harga mati yang tidak bisa ditawar. Sejarah membuktikan, jika khitah NU dicederai, maka konsentrasi utama NU bukan pada penggarapan bidang sosial, pendidikan, dan ekonomi umat, tapi disibukkan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan yang tidak berkesudahan dan akhirnya melalaikan tugas utama dalam memberdayakan potensi umat.
Program utama NU adalah turun langsung ke bawah, melihat warga NU yang masih dililit problem kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan di banyak aspek kehidupan, kemudian terpanggil untuk memperbaiki kondisi tersebut dengan gigih, pantang menyerah, dan berkelanjutan.
Kaderisasi yang menjadi jantung pergerakan NU harus dioptimalkan dan dipantau dengan baik supaya lahir kader-kader penggerak NU yang militan, berwawasan luas, bermental pantang menyerah, dan selalu kreatif-inovatif dalam melahirkan dan mengawal program dan kegiatan. Langkah ini mutlak dilakukan supaya NU tidak menjadi organisasi besar yang tidak terorganisasi sehingga dikalahkan oleh organisasi kecil yang terorganisasi.
Sudah saatnya NU menjadi organisasi besar dengan massa terbesar di dunia, tapi dikelola dengan manajemen yang baik, modern dan profesional, sehingga lahir prestasi-prestasi besar dalam bidang pendidikan, ekonomi, budaya dan sosial. Pilgub adalah kontestasi politik kekuasaan yang keras sehingga tidak boleh melupakan visi dan misi NU ke depan.
Biarlah para tokoh NU yang aktif di partai politik berkontestasi dengan mengedepankan gagasan dan pemikiran yang brilian untuk kemajuan Jawa Tengah dengan tetap mengedepankan solidaritas dan soliditas sosial, khususnya antarwarga NU. Siapa pun yang menang adalah pemimpin seluruh masyarakat Jawa Tengah, baik yang mendukung maupun yang tidak mendukung.
Pengurus NU di semua level harus menjaga khitah NU. Dalam konteks ini, khitah menjadi pertaruhan dan kata kunci. Jika para pengurus NU gigih memegang khitah, stabilitas dan solidaritas warga NU akan terjaga dengan baik. Namun jika sebaliknya, maka solidaritas warga NU akan mudah terkoyak.(49)