Community Development yang kemudian akrab diartikan sebagai pengembangan masyarakat telah dikenal luas di Indonesia sejak tahun 1970-an. Berbagai kalangan baik pemerintah, swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi bahkan Pesantren ikut berpartisipasi aktif dalam program tersebut dengan berbagai pola dan strategi masing-masing. Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya masyarakat memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, dan sosial.
Dalam pengertian yang lebih luas, pengembangan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan secara strategis untuk mencapai kemandirian dalam jangka panjang. Dari pengertian tersebut dapat diketahui, bahwa pengembangan masyarakat adalah sebuah metode yang berbasiskan pemberdayaan, partisipasi dan kemandirian.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, berkembangnya konsep community development yang berbasis nilai-nilai pemberdayaan, partisipasi, dan kemandirian (self reliance) tidak terlepas dari kondisi nyata dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Terlepas dari masih kurangnya pemahaman terhadap konsep community development itu sendiri, tidak dapat dipungkiri bahwa community development merupakan salah satu metode yang tepat untuk menjawab isu-isu dan masalah-masalah sosial di Indonesia pada saat ini maupun yang akan datang. Terlebih lagi kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan, yang masih menerapkan sistem komunal merupakan modal penting bagi pelaksanaan community development.
Sementara dalam konteks gerakan LSM di Indonesia, menarik digarisbawahi keterlibatan dan peranan pesantren dalam program pengembangan masyarakat. Keterlibatan pesantren sendiri mulai tampak pada 1970-an, ketika Mukti Ali menjabat sebagai Menteri Agama. Salah satu program Mukti Ali adalah mendorong perubahan di dunia pesantren dengan berusaha memasukkan mata pelajaran keterampilan dalam kurikulum pesantren. Hal ini dimaksudkan agar supaya, setelah tamat belajar, santri—yang memang tidak memperoleh sertifikat—memiliki kemampuan (life skill) untuk bekerja di luar sektor pemerintah. Lepas dari sukses atau tidaknya, program tersebut semakin membuka cakrawala pesantren tentang pendidikan keterampilan, dan pada tingkat tertentu juga pengembangan masyarakat.
Dengan adanya program tersebut, fungsi pesantren semakin luas tidak hanya sebagai lembaga agama, melainkan juga menanggapi soal-soal kemasyarakatan yang hidup dan berkembang di masyarakat. Pekerjaan sosial ini semula hanya merupakan pekerjaan sampingan atau malahan ‘titipan’ dari pihak luar pesantren. Tetapi dalam kenyataannya, pekerjaan sosial ini justru akan memperbesar dan mempermudah gerak usaha pesantren untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat di sekitarnya.
Selanjutnya, bersamaan dengan tumbuhnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada 1970-an, dengan gagasan community-based development-nya, peran sosial pesantren mengalami proses perumusan kembali. Di sini, pesantren menjadi sarana penting bagi pengembangan sosial-ekonomi serta kemandirian masyarakat. Penekanan LSM terhadap peran sosial-ekonomi pesantren, seperti halnya dunia pendidikan, juga didasarkan pertimbangan bahwa lembaga tersebut memiliki basis sosial sangat kuat di masyarakat, lebih khususnya di pedesaan. Dengan asumsi semacam itu, pesentren dianggap sebagai modal dasar yang potensial untuk dijadikan sebagai salah satu entry point bagi upaya pemberdayaan ekonomi rakyat bawah.
Dengan dukungan funding agencies—seperti FNS (Friederich Naumann Stiftung), TAF (the Asia Foundation) dan Ford Foundation—kalangan aktivis LSM Muslim merumuskan program-program di pesantren yang pada umumnya diarahkan untuk memperkuat kesadaran tentang demokrasi, civil society, dan kesetaraan gender. Inilah kiranya yang mendorong semakin intensifnya keterlibatan pesantren dalam pembentukan wacana sosial-intelektual di Indonesia. Program halaqah oleh P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat)—untuk menyebut satu contoh—dalam beberapa segi telah memberi kontribusi bagi lahirnya tradisi intelektual baru di dunia pesantren. Di sini, perumusan kembali khazanah intelektual Islam—khususnya kitab kuning yang dipelajari di pesantren—merupakan wujud dari lahirnya tradisi intelektual pesantren. Demikianlah selanjutnya isu-isu kontemporer tentang HAM, demokrasi, dan civil society, memperoleh respon positif di dunia pesantren. Mereka, kalangan pesantren, tampak berusaha mencari landasan keagamaan—melalui kajian kembali kitab kuning—terhadap isu-isu baru yang berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.
Beberapa pesantren sudah mengembangkan lembaga pengembangan masyarakat. Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati—untuk menyebutkan contoh—mengembangkan lembaga yang disebut dengan BPPM (Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). Di samping bertujuan memberikan pelayanan kepada masyarakat lokal sebagai bentuk kepedualian pesantren, lembaga ini juga menjadi tempat bagi para santri untuk belajar bekerja bersama masyarakat. Santri juga mendapatkan pelatihan menajemen pengembangan masyarakat yang kelak menjadi bekal dalam kerja-kerja sosial.
Dengan dasar pemikiran dan belajar dari pengalaman panjang pesantren dalam hal pengembangan masyarakat itulah, program studi Pengembangan Masyarakat Islam terlahir sebagai bentuk eksternalisasi keyakinan teologis mengenai kewajiban mengkaji dan mendalami agama, serta seruan untuk memahami realitas keragaman umat dan lingkungan kebudayaan agar saling mengenal.