Sambut Kemenangan Dengan Saling Memaafkan

Oleh: Faiz Aminuddin, MA

Kata maaf adalah sebuah kata yang sederhana tetapi mempunyai makna sangat besar, banyak pertikaian antara suami dengan istri, anak dengan orang tua, atau kampung satu dengan kampung lain dapat terselesaikan hanya karena ada kata “maaf”. Hanya saja, tidak semua orang mampu memberikan maaf pada seseorang yang pernah menyakiti. Apalagi jika kesalahan yang dilakukan cukup membekas dalam hati, akibatnya banyak orang yang akhirnya lebih memilih jalan untuk memutuskan hubungan silaturrahim.

Selain itu, model lain yang sering muncul di tengah-tengah masyarakat adalah sudah saling memaafkan antara kedua belah pihak, akan tetapi hanya bersifat formalitas semata karena perasaan dendam masih melekat dalam diri. Artinya pemaafan yang dilakukan tidak memberikan dampak apa-apa, bahkan bisa dikatakan sia-sia. Padahal memaafkan juga harus diringi rasa tulus dan ikhlas untuk benar-benar saling memberi maaf tanpa ada sisa-sisa dendam yang bisa merusak nilai dari kata maaf itu sendiri.

Fenomena lain yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yaitu telah melakukan kesalahan terhadap orang lain namun tidak mau meminta maaf dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dilakukannya meskipun jelas-jelas bersalah. Umumnya mereka dihinggapi perasaan malu atau gengsi yang mereka anggap sebagai pilihan yang baik bagi dirinya. Padahal justru sebaliknya, semakin mereka lari dari kesalahan justru akan membuat mereka semakin terbatas ruang relasinya, dan semakin banyak meninggalkan jejak-jejak negatif kepada orang lain. Tentunya pola demikian akan membawanya pada isolasi sosial yang pada akhirnya mengurangi produktivitas hubungan interaksinya.

Tren tersebut kian menjadi-jadi seiring arus budaya modernisasi yang membuat sebagian kalangan memandang bahwa maaf adalah sebuah kata naif untuk diucapkan, sampai-sampai ada ungkapan “buat apa kata maaf jika ada polisi” atau “buat apa ada pengadilan kalau kata maaf dipakai”. Tren negatif seperti itu mengakibatkan lunturnya budaya meminta maaf dan memberi maaf antar-sesama, bisa dilihat dari realitas di lapangan baik di dunia politik, pendidikan, olahraga, bahkan selebrita.

Ungkapan provokatif seperti di atas tentunya bisa merusak nilai atau value budaya timur khususnya di Indonesia yang salah satunya menekankan aspek maaf-memaafkan. Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab moral bagi semua elemen, mulai dari orang tua, pendidik, ustadz, serta siapapun untuk memberikan teladan, melatih,  mendidik, dan membiasakan para generasi muda untuk mudah mengatakan maaf jika salah dan memberi maaf jika orang lain mempunyai salah. Tentunya dengan komitmen untuk tidak melakukan kesalahan yang telah dilakukan.

Nabi Muhammad SAW sebagai teladan terbaik (uswah hasanah) bagi umat manusia sudah banyak memberikan contoh bagaimana manusia dituntut untuk menjaga relasi sosialnya dengan bermartabat. Jangan sampai di dalam proses berinteraksi terjadi proses saling menyakiti, mendzolimi, dan mereduksi hak-hak satu sama lain. Hanya saja, manakala di dalam hubungan sosialnya terjadi upaya untuk saling menyakiti (verbal dan non-verbal atau disengaja maupun tidak disengaja), maka Nabi SAW pun memberikan teladan untuk cepat-cepat meminta maaf dan saling memaafkan. Bahkan, jika sampai lebih dari tiga hari masih memutuskan hubungan silaturrahim maka tidak diterima ibadahnya.

Nabi SAW menyadari bahwa manusia adalah tempat salah dan lupa, keadaan demikian sebenarnya memberikan pemahaman kepada manusia akan adanya suatu waktu munculnya potensi-potensi berbuat salah dan khilaf. Kuncinya, adanya kesadaran dari setiap insan bahwasannya kehidupan ini prinsipnya memperbanyak saudara, bukan sebaliknya. Manusia juga tidak mungkin bisa hidup sendiri, ia akan selalu membutuhkan orang lain, sehingga hiduplah dengan penuh cinta.

 

Manfaat Memberi dan Meminta Maaf

Manfaat dari memberi dan meminta maaf sangatlah banyak, seperti  seseorang bisa memperoleh ketenangan hidup, mengurangi tekanan batin, melepaskan beban hidup, menghapus sifat dendam terhadap seseorang, dan yang terpenting adalah menjadikan tubuh seseorang terhindar dari macam-macam penyakit. Memaafkan juga memberi kedamaian bagi hubungan interpersonal, menjauhkan dari sifat permusuhan dan pertikaian yang membawa manusia kepada puncak silaturrahim, yaitu empati dan harmoni.

Hasil penelitian dari beberapa ilmuan lain menemukan, bahwa meminta maaf sangat efektif dalam mengatasi konflik interpersonal, karena permintaan maaf merupakan sebuah pernyataan tanggung jawab tidak bersyarat atas kesalahan dan sebuah komitmen untuk memperbaikinya. Seorang pakar psikologi McCullough mengemukakan bahwa memaafkan dapat dijadikan seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsolidasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Secara kesehatan memaafkan memberikan keuntungan psikologis, dan memaafkan merupakan terapi yang efektif dalam intervensi yang membebaskan seseorang dari kemarahan dan rasa bersalah.

Menurut pakar Psikologi lain, Lewis B. Smedes membagi empat tahapan dalam pemberian maaf, pertama adalah membalut rasa sakit. Karena sakit hati yang dibiarkan berarti merasakan sakit tanpa mengobatinya sehingga lambat laun akan menggerogoti kebahagiaan dan ketentraman. Kedua, meredakan kebencian, kebencian sangat berbahaya karena kebencian justru melukai pembenci sendiri melebihi orang yang dibenci. Ketiga, upaya penyembuhan diri sendiri, seseorang tidak mudah melepaskan kesalahan yang dilakukan orang lain, sebab akan lebih mudah dengan jalan melepaskan orang itu dari kesalahannya dalam ingatannya. Keempat, berjalan bersama, bagi dua orang yang berjalan bersama setelah bermusuhan memerlukan ketulusan. Pihak yang menyakiti harus tulus menyatakan kepada pihak yang disakiti dengan tidak akan menyakiti hati lagi.

Oleh karena itu, momentum lebaran yang sudah di depan mata harapannya dapat menjadikan semua lapisan masyarakat dan semua komponen bangsa untuk dapat mengambil hikmah yang paling terdalam, yakni untuk saling membuka hati dalam memberi maaf dan meminta maaf. Menyadari bahwa manusia dengan manusia lain adalah untuk saling mengisi, bukan untuk saling memusuhi. Alhasil, kesempatan yang baik ini mari dimanfaatkan untuk memperbanyak silaturrahim, mempererat persaudaraan, dan memupuk sikap saling mengasihi. Sebagaimana kata mutiara mengatakan, “satu musuh terlalu banyak, seribu teman terlalu sedikit”. Selamat merayakan Idul Fitri 1438 H, hiduplah dengan keharmonisan, dan salam persaudaraan. Wallahu ‘a’lam.

– Penulis adalah Kaprodi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) IPMAFA Margoyoso Pati