Oleh: Dr. A. Dimyati, M.Ag*
“Kemanapun Pak Dahlan, anggota senam beliau selalu mengikuti” Itulah pernyataan singkat yang saya terima dari teman sesama dosen Ipmafa menjawab pertanyaan saya, ada apa kok pak DI membawa rombongan sebanyak ini untuk menghadiri kuliah umum.
Ketika mendapat tugas menjemput Pak DI di hotel, saya merasa ada yang janggal. Sebab ada dua rombongan yang datang. Satu rombongan kecil Pak DI bersama keluarga (kalau ini saya maklumi karena wajar saja ketika bepergian jauh ada anggota keluarga yang diajak). Tetapi satu rombongan lagi datang langsung dari Surabaya dalam julah besar. Belakangan saya ketahui ternyata itu adalah klub senam yang rutin mengadakan senam bersama dengan Pak DI berbagai tempat yang beliau datangi.
Rasa penasaran saya membayangkan klub seperti apa itu sebenarnya dijawab oleh rekan dosen dan juga saya konfirmasi ke salah satu anggota, bahwa dalam beberapa tahun terakhir Pak DI memiliki klub senam yang tidak hanya ada di Surabaya, tetapi juga di beberapa daerah, terutama yang memiliki biro Jawa Pos Group. Menurut informasi yang saya terima, klub ini (terutama yang tinggal di Surabaya) setia mengadakan senam bersama 3 hari dalam seminggu secara berpindah-pindah tempat, mengikuti aktifitas pak DI. Selama jaraknya terjangkau secara waktu dan tempat (termasuk di IPMAFA Pati), klub ini akan ikut atau menyusul. Tetapi kalau tidak terjangkau, biasanya klub dari biro Jawa Pos Group di daerah yang didatangi pak DI akan menggantikan.
Jangan bayangkan anggota klub senam ini berusia muda, berbodi wow macam artis-artis model baju senam yang sering muncul di iklan TV atau online shop. Kebanyak mereka berusia lanjut, dan tentu saja banyak yang ibu-ibu ha ha ha. Saat saya kenalan dengan beberapa anggota klub, ternyata mereka adalah kalangan profesional yang sudah purna tugas. Ada juga yang masih aktif. Bahkan salah satu anggotanya yang sempat ngobrol lama dengan saya adalah dosen di UINSA dan ketua Gerakan Wakaf Indonesia (GWI). Ini mah bukan klub alay-alay. Senam tampaknya aktifitas yang dipilih, karena selain menyehatkan fisik, juga bisa membangkitkan semangat dan keceriaan. Hentakan music pengiring yang diputar secara random, mulai aransemen riang poco-poco, belaian lembut pop barat klasik, hingga lagu Aisyah Istri Rasulullah berhasil membakar semangat peserta senam, bahkan saya yang hanya menonton karena tidak siap kostum he he.
Apa alasan anggota klub ini begitu setia ada Pak DI? Sejauh yang saya tahu dari obrolan dengan beberapa anggotanya, ternyata sebagian dari mereka adalah orang-orang yang pernah “diasuh” Pak DI di Jawa Pos Group. Sebagian lagi mereka yang bergabung karena tertarik dengan dakwah ala Pak DI. Saya sebut dakwah karena dalam beberapa kali kesempatan, pak DI menyampaikan nilai-nilai spiritualitas dengan bahasanya sendiri kepada anggota club. Begitupun ketika mengenalkan anggotanya kepada saya. “Ayah temannya saya ini adalah guru nahwu saya” Kata Pak Dahlan.
Luar biasa! Pak DI lebih menyebutkan hubungan guru-murid dengan orang tua anggotanya ketimbang mengatakan ini dulu anak buah saya. Itulah nilai ta’dhim yang pernah kami kaji dari ta’limul muta’allim maupun petuah guru-guru kami. Bahwa hormat kepada guru setelah wafat ditunjukkan dengan hormat kepada anak-anaknya. Bukankah itu metode berdakwah yang sangat efektif, tanpa harus berbusa-busa mengutip dalil ini dan itu?
Saya meyakini pak DI orang yang relijius. Bukan karena beliau secara kultural lahir dari lingkungan Nahdhiyin. Bukan juga karena beliau pernah dididik di madrasah diniyah. Tetapi itu saya saksikan langsung ketika ziarah di makam Mbah Mutamakkin dan syaikhuna Kyai Sahal Mahfudh. Setelah sampai dikompleks makam, beliau dengan percaya diri memimpin “hadrah” atau wasilah dan dzikir. Beberapa kali fatihah dibacakan dengan lantang. Saya dan beberapa orang yang mengikuti hanya ikut membaca fatihah saja. Setelah itu, Pak DI dengan fasih, jernih dan mantap melafadzkan tahlil “la ilaha illallah” sebanyak 100x (perkiraan saya ). Lalu doa diserahkan kepada salah satu dari kami yang dipandang lebih tepat membaca doa karena orang pesantren. Hal itu belaiu lakukan dua kali, ketika ziarah kepada Mbah Mutamakkin dan kemudian ketika di makam Mbah Sahal. Demikianpun relijiusitas pak DI beliau tunjukkan ketika shalat 2 rakaat tahiyyatul masjid di masjid Kajen.
Pak Di juga berhasil mengkonversi modal sosialnya sebagai pimpinan Jawa Pos Gorup menjadi bekal berdakwah dengan sangat baik. Oleh karena itu, dengan berseloroh saya menyebut klub senam pak DI dengan Thariqah as-sanamiyyah ad-Dahlaniyyah (Metode berdakwah melalui senam ala pak Dahlan Iskan he he he).
***
Pak DI mungkin sadar, bekal keilmuan agamanya tidak sebanyak orang-orang yang pernah nyantri. Tetapi dengan keterbatasan ilmunya itu tidak menghalangi niatnya untuk berdakwah dengan cara yang sangat elegan dan efektif. Tidak ada kesan menggurui, apalagi menyalahkan orang lain. Beliau bahkan menjadikan orang laing lebih terhormat, seperti ketika menyerahkan urusan doa kepada yang lebih ilmunya.
Model dakwah seperti ini sejatinya yang diperlukan sekarang. Ketika banyak orang yang memaksakan diri menempuh cara-cara dakwah di luar kompetensinya, pada saat orang berdakwah dengan cara menyakiti dan merendahkan yang didakwahi, di tengah gejala “penyesatan” dan pengkafiran kepada orang yang tidak satu gagasan, pak DI menunjukkan bahwa esensi dakwah adalah mengajak, bukan mengancam, menggurui, menyalahkan dan menyesatkan.
Tetap sehat Pak DI.
Tetap istiqomah dengan dakwahnya yang sangat efektif.
*Dr. A. Dimyati, M.Ag, Wakil Rektor I Bidang Akademik Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Pati.