Spiritualitas Ramadhan

Oleh: Ahmad Dimyati

Berpuasa merupakan salah satu bentuk ibadah yang dijalankan oleh hampir semua agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi maupun agama-agama lain. Dengan demikian puasa termasuk kategori ibadah yang bersifat universal dan telah dipraktikkan sejak dahulu. Hal ini berbeda dengan bentuk-bentuk peribadatan lain yang biasanya bersifat spesifik menurut ajaran agama tertentu.

Bagi umat islam, ibadah puasa juga dilaksanakan dalam beberapa bentuk, ada yang wajib dan sunnah. Di antara bentuk-bentuk ibadah tersebut, puasa di bulan Ramadhan memiliki nilai yang paling penting. Pada bulan Ramadhan umat islam menjalankan ibadah puasa dengan sekuat tenaga, meskipun dalam kondisi yang berat. Bukan hanya puasa wajib, ibadah-ibadah sunnah juga dilaksanakan dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim menjelaskan bahwa jika bulan Ramadhan datang pintu-pintu surga dibuka, sedangkan pintu-pintu neraka ditutup. Penjelasan hadis ini sebagaimana disampaikan Al-Qadhi Iyadh berkaitan dengan perilaku umat islam pada bulan Ramadhan yang biasanya menjadi lebih relijius, meningkatkan ibadah dan menjauhi perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama dan moralitas. Maka hal tersebut berkorelasi dengan dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka.

Fenomena Ramadhan yang selalu terulang setiap tahun tersebut seolah menjadi puncak dari perjalanan spiritualitas setiap individu muslim dalam satu tahun. Dan menjalankan ibadah puasa pada bulan tersebut menjadi sarana penyucian diri dari kesalahan dan dosa yang dilakukan dalam hubungan sosial sehari-hari. Menurut para pakar, spiritualitas seseorang berkaitan dengan tiga aspek, yaitu eksistensial, kognitif dan relasional.

 Aspek eksistensial berkenaan dengan upaya pencarian diri seseorang dengan cara memisahkan hakikat diri dengan sifat-sifat egoistik dan defensif yang dimiliki.  Kesibukan duniawi yang dijalani seseorang dalam kehidupan sehari-hari seringkali tanpa sadar memupuk tumbuhnya sikap egois, iri, dengki dan perilaku buruk lain. Dalam kondisi yang demikian, orang tidak mampu lagi mengenali jati dirinya.  Maka, puasa menjadi sarana yang cukup efektif karena seseorang yang berpuasa dipaksa untuk memiliki kendali penuh atas dirinya dari perbuatan-perbuatan yang dapat membatalkan maupun merusak nilai ibadah atau pahala puasa. Hal tersebut diperkuat dengan motifasi doktrin agama yang menyatakan banyak orang yang puasanya hanya mendapatkan lapar dan dahaga (H.R. Ahmad dan Ad-Darami).

Aspek kognitif berhubungan dengan upaya meningkatkan kesadaran pada hal-hal yang bersifat transenden. Tidak mengherankan jika pada bulan-bulan Ramadhan seperti ini hampir semua aktifitas dikemas dengan nuansa relijius. Acara-acara di televisi dan radio disesaki dengan kajian keagamaan. Bahkan acara-cara yang bersifat entertain juga dikemas sebisa mungkin untuk mengedepankan unsur relijiusnya. Pada umumnya umat islam menyadari arti hadir yang menyatakan bahwa siapa saja yang mau melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap keridhaan Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni  (H.R. al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Sedangkan aspek relasional spiritualitas menyangkut dua arah, vertikal dan horisontal. Relasi vertikal diwujudkan dengan kesediaan setiap individu untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan melalui ibadah yang dijalankan. Sementara relasi horisontal terlihat dengan perubahan pola relasi antar sesama manusia.  Pada bulan Ramadhan biasanya orang memperlihatkan sikap altruistik, lebih peduli pada sesama. Kegiatan-kegiatan seperti bersedekah, berbagai takjil gratis dan sebagainya marak digelar di berbagai tempat oleh semua kalangan, tua-muda, di kota maupun di desa.

Hadirnya Ramadhan selalu memberikan dampak positif, baik bagi individu yang menjalankan puasa maupun secara sosial. Akan tetapi yang lebih diharapkan tentu bagaimana spiritualitas yang berhasil diasah selama sebulan penuh melalui ibadah dan ibadah-ibadah lainnya dapat ditransformasikan menjadi budaya kolektif dan dapat diimplementasikan pada berbagai aspek kehidupan yang lebih luas di luar Ramadhan. Baik aspek eksistensial, kognitif, maupun korelasional spirituaitas puasa di bulan Ramadhan diharapkan menjadi modal penting untuk menata ulang visi hidup setiap individu serta cara-cara berinteraksi dengan pihak lain di lingkungan masing-masing, di tempat kerja, dalam menjalan organisasi, menjalankan profesi dan bidang apa saja yang dijalani.

Akan tetapi kemampuan mentransformasikan dan mengimplementasikan spiritualitas Ramadhan juga ditentukan oleh sejauh mana seseorang menjalankan ibadah puasanya. Dalam hal ini, imam Al-Ghazali membagi level spiritualitas puasa seseorang ke dalam tiga tingkatan. Pada tingkat paling rendah adalah puasanya orang awam yang sekedar memenuhi keabsahan ibadah dengan tidak melanggar hal-hal yang dapat membatalkan puasanya. Menjalankan puasa bagi orang awam tidak lebih dari sekedar ritual keagamaan. Di atasnya adalah puasa orang-orang khusus yang juga mampu mengendalikan panca inderanya untuk tidak melakukan tindakan yang dapat mengurangi ibadah puasa. Pada tingkat paling atas adalah puasa orang yang lebih khusus. Mereka mampu mengendalikan hari dan pikirannya hanya untuk berhubungan langsung dengan Tuhan.

Berdasarkan pembagian level spiritualitas puasa tersebut, sudah barang tentu yang diharapkan adalah level tertinggi. Akan tetapi semuanya melalui proses pemahaman, penghayatan dan pembiasaan. Melalui proses pemahaman orang akan mengetahui cara mencapai level tertinggi dalam puasa, melalui penghayatan orang dapat merasakan hikmah puasa, sedangkan melalui  pembiasaan orang secara perlahan akan terbentuk karakternya. Jika obyek pembiasaan adalah perilaku yang dijalani selama menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadhan, maka itu pula yang akan membentuk perilakunya. Dan kita berharap, puasa yang kita jalankan pada Ramadhan kali ini dapat membentuk perilaku dan karakter kita dalam menjalani hidup sehari-hari. Amin. Wallahu a’lam bish shawab