Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
Wisuda VIII Ipmafa: Saatnya Pesantren dan Santri Menjadi Subjek Pemenuhan SDGs

Berita Ipmafa – Sidang Senat Terbuka Wisuda VIII Institut Pesantren Mathali’ul Falah (Ipmafa) Pati usai digelar Sabtu, 7 Desember 2019. Orator Ilmiah Prof. Dr. Imam Taufiq, M.Ag menjawab pertanyaan dalam sambutan Rektor Ipmafa, Abdul Ghofarrozin, M.ED bahwa dalam konteks pemenuhan Sustainable Development Goals (SDGs) pesantren dan santri belum sepenuhnya menjadi subjek.

“Dari dulu hingga sekarang peran santri dan pesantren adalah sebagai agen of social, peran kita langsung terjun ke bawah melakukan kerja-kerja riil. Bedanya adalah bagaimana dalam konteks pemenuhan SDGs ini pesantren dan santri dapat sepenuhnya menjadi subjek,” tutur Rozin dalam sambutannya.

Menjawab hal tersebut, dalam orasi ilmiahnya, dengan sangat tegas Imam Taufiq menyatakan saatnya pesantren dan santri, khususnya alumni Ipmafa harus tampil ke depan dalam rangka pemenuhan SDGs dengan inovasi-inovasi yang ada.

Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Menurut Imam, santri dilahirkan pesantren dengan multitalent. Ia sosok pembelajar 24 jam, tak hanya selesai dengan 4 atau 6 SKS saja setiap harinya, namun setelah sampai di pondok kembali lagi dengan mengaji, kitab kuning-tadribu al-‘ilmi wa al-‘amali wa ar-ruhi.

“Itu semua full dilakukan di pondok, bertabarukan dengan para kiai kita. 24 jam proses belajar inilah yang menajdi karakter distingtif pada saat ini yang tidak dimiliki oleh orang-orang lain. Oleh karena itu santri atau mahasantri, punya etos beda dengan yang lain. Salah satunya dia adalah pembelajar di mana pun berada dan kapanpun,” terang Koordinator Kopertais Wilayah X Jawa Tengah tersebut.

Imam menambahkan ciri santri dan mahasantri adalah ia yang tidak pernah putus asa dan tak kenal lelah dalam keadaan apapun. Dia inovatif, kreatif, berusaha keras. Maka wajar jika diminta tampil di manapun pesantren dan santri selalu bisa melakukannya.

Peran Alumni dalam SDGs

Mengenai Peran Alumni Perguruan Tinggi Berbasis Pesantren dalam Merealisasikan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, setidaknya ada 8 dari 17 program SDGs yang Imam sampaikan berkaitan dengan relevansinya pesantren dan santri.

Menghadapi isu nomor 1: menuntaskan kemiskinan. Menurut Imam, istilah mbalek ndeso, mbangun ndeso (kembali ke desa, membangun desa) tepat untuk diterapkan. Tidak harus kembali kemudian berkhidmah atau mencari pekerjaan di kota. Sebaliknya, kembali dan memberikan ilmu ke kampung halaman, salah satunya dengan mengembangkan mikro pengabdian masyarakat di aspek bisnis, ekonomi, syariah dsb.

“Siapa yang akan mengawal masyarakat kita kalau hanya diberi semacam volunteer-volunteer, orang-orang Ahli yang dididik secara administratif dan prosedural oleh pemerintah tapi tidak punya background santri dan wawasan kepesantrenan,” tutur Imam.

Kedua, mengakhiri kelaparan. Menurut Imam, kampus dan masyarakat sudah saatnya mengoptimalkan badan infaq, zakat dan shodaqoh sebagaimana Lazisnu dan kegiatan-kegiatan lain yang menjadikan para mustahiq terentaskan semuanya menjadi muzakki.

“Kedaulatan lahan yang kita miliki kemampuan dan SDA di Pati yang luar biasa menjadi ajang kita, dunia pertanian menjadi bekal kita mengelaborasi berbagai aspek bagaimana mengurangi kelaparan itu,” terang Imam.

Ketiga, kesehatan yang baik dan kesejahteraan sosial. Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Imam lagi-lagi kampus memang harus mendukung riset. Riset menurutnya adalah belajar, mendekatkan diri pada rasa ingin tahu. Ketika seseorang ingin mengetahui sesuatu maka harus dikejar dengan pendapat dan hasil yang objektif.

Imam menambahkan, sebetulnya riset sudah biasa dilakukan di pesantren. Hanya namanya saja yang berbeda, namun substansinya sama. “Ketika kita mau mengaplikasikan sesuatu, saatnya kita kaji bagaimana islam, agama kita bermanfaat untuk mengupayakan kesehatan mental dan spiritual itu, apalagi alumni pondok pesantren,” katanya.

Menurutnya terapi-terapi sosial, memberikan afirmasi kepada problem-problem keummatan yang ada pada kesehatan mental merupakan bagian-bagian yang bisa diambil perannya oleh para alumni pesantren, alumni Ipmafa. Sehingga kebersihan dalam konteks an-nadhafatu minal iman bukan melulu pada persoalan fisik atau formal materi saja, tapi juga faktor-fakor yang bersifat psikis dan spiritual.

Keempat, pendidikan bermutu. Dalam hal ini santri dan pesantren dituntut menjawab pertanyaan bagaimana mengahasilkan pendidikan inklusif yang memberikan kesempatan belajar kepada semua pihak. Dalam hal ini Imam menegaskan pentingnya meningkatkan aktor-aktor, guru-guru, dan beasiswa yang ada.

Meski saat ini bangsa dihadapkan pada problem disrupsi. Dalam revolusi 4.0 terdapat satu perkembangan revolusi industri yang tidak bisa dihalau dan ditolak. Dampaknya adalah bagaimana menghadaipi perubahan.

Kelima, persoalan kesetaraan gender. Yakni, bagaimana kemitraan atau kesetaraan gender laki-laki-perempuan bisa menjadi bagian yang integral. Dalam hal ini Imam mengajak para alumni untuk mulai melakukan kajian-kajian Islam kontekstual agar sesuai dengan maqashid asy-syariah.

“Menurut saya Ipmafa sudah merintis, mempelopori yang perempuan harus melakukan action menjadi aktor bersama dengan laki-laki. Saatnya bagi para alumni menjadikan kekerasan terhadap perempuan mulai dikesampingkan. Pemerhatian terhadap anak-anakyang kurang ditambah,” papar Imam.

Keenam, persoalan energi bersih dan terjangkau. Yakni bagaimana mendeklarasikan green and research campuse dengan melakukan penghijauan, menata agar seluruh komponen kampus dan masyarakat mempunyai kesadaran lingkungan.

Ketujuh, pekerjaan layak dan juga pemenuhan pertumbuhan ekonomi yang memadahi. Ini PR kita, menurut Imam. Saatnya para alumni memperbanyak melakukan inovasi pekerjaan, wirausaha, kreatifitas dan sebagainya, serta berorientasi pada kepentingan umat.

Terakhir, aspek SDGs no 16: soal perdamaian, keadilan dan yang mendukungnya. Imam mengabarkan bahwa hari ini indonesia dihadapkan pada problem kebangsaan bagaimana menyikapai isu-isu pluralistik.

Mengahdapi hal tersebut, Imam mengajak para alumni untuk berpegang pada nilai tasamuh (toleran) yang mulai tergerus dan hilang. “Karena sekarang yanga ada tinggal intoleransi dan kekerasan dijadikan salah satu cara memecahkan masalah. Itu harus kita hindari,” tutur Imam.

Imam juga menyampaikan rasa bangganya dengan Ipmafa yang hingga saat ini masih berpegang pada kaidah al-muhafadhah ‘ala al-qadimisshalih, wa al-akhdzu bil jadidi al- ashlah. “Itu menjadikan bahwa kita menjadi pelopor perdamaian. Menyelesaikan masalah2 apapun dnegan cara yang santun, damai. Karena itulah karakter muslim yang sejati,” pungkas Imam.

Di akhir sesi, Rektor UIN Walisongo Semarang ini menyampaikan puisi yang ia buat sesaat sebelum naik ke podium:

Sungai juwana penuh deegan ikan sepat

Gembira riang berenang sampai ke sawah

Selamat wisudawan-wisudawati Ipmafa yang hebat

Raih masa depan gemilang dan penuh berkah

Pergi ke Kajen monggo sowan zirah ke para kiai dan ulama kita

Mbah Mutamakkin, Mbah Dullah, Mbah Sahal di antaranya.

Hari ini momentum menerima ijazah dan wisuda

Bekal Anda bekerja dan melamar kekasih tercinta

Dayung perahu menuju ke darat

Ambillah tali lalu diikat

Amalkan ilmu yang bermanfaat

Agar bahagia dunia akhirat.