Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
Berita Terbaru

MPBA IPMAFA Terima Kunjungan Studi Banding STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta

Tingkatkan Kualitas, Dosen Magister PBA IPMAFA Adakan Ijtima’ Tansiqiy

Dirkamsel Korlantas Polri Bahas Program Keselamatan Berkendara di IPMAFA

Kembangkan Prodi, Fakultas Syari’ah IPMAFA Lakukan Kunjungan ke UIN Sunan Kalijaga

IPMAFA Hadiri Pembukaan AICIS 2024 di UIN Walisongo Semarang

Pesantren: Destinasi Pendidikan Nasional
Share
WhatsApp
Facebook
Twitter

Jamal-MamurOleh Jamal Ma’mur Asmani

 

“Kekayaan ragam pesantren ini menuntut revitalisasi di semua elemen supaya pesantren relevan dengan tantangan globalisasi.”

PADA 13-15 Mei 2016, akan berlangsung Silaturrahim Nasional (Silatnas) Gerakan Nasional Ayo Mondok di Pasuruan Jawa Timur. Silatnas ini diharapkan mampu memberikan tawaran gagasan cemerlang untuk meningkatkan kualitas pondok pesantren. Tema Silatnas ini adalah meneguhkan pesantren sebagai pusat peradaban.

Tema ini menjadi inspirasi bangsa untuk keluar dari krisis multidimensi menuju era kejayaan di segala bidang. Menurut para pakar, kesuksesan manusia ditentukan dua faktor, 20 % dari kecerdasan intelektual dan 80 % dari kecerdasan emosi.

Karakter kuat, optimistis, dan pantang menyerah termasuk dari kecerdasan emosi. Setinggi apapun kecerdasan intelektual seseorang jika tidak dibangun di atas karakter yang positif, maka tunggulah saat kehancurannya, seperti orang-orang hebat yang terlibat narkoba dan korupsi yang karirnya langsung habis. Dalam konteks ini, pesantren terpanggil untuk memperbaiki bangsa ini dengan menggarap dua bidang sekaligus, kecerdasan intelektual dan pembangunan karakter.

Pembangunan karakter menjadi prioritas karena membutuhkan indoktrinasi, internalisasi, dan habitualisasi. Pesantren unggul dalam bidang ini karena adanya good model yang ditunjukkan oleh pengasuh pesantren, dewan guru, dan tradisi yang berkembang di pesantren.

Di pesantren, apa yang diajarkan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi karakter kokoh yang menghunjam kuat dalam kepribadian para santri. Inilah tanggung jawab utama pesantren yang harus dipikul. Menurut Said Aqil Siraj (2004), ada banyak tanggung jawab pesantren, antara lain tanggung jawab keagamaan, pendidikan, peradaban, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab politik kebangsaan.

Eksistensi dan aktualisasi pesantren masa lalu mampu mengemban semua tanggung jawab ini. Dalam buku Tradisi Pesantren karya Zamakhsyari Dhofier (1994) dijelaskan peran pondok pesantren Tebuireng Jombang di bawah kepemimpinan KH M Hasyim Asy’ari yang mampu melahirkan tokoh-tokoh bangsa yang menyebar ke seluruh penjuru nusantara dan mampu mengobarkan semangat nasionalisme untuk mengusir penjajah dari tanah air dan mengisi kemerdekaan dengan peran-peran konkret di bidang pendidikan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

Pesantren Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat di bawah kepemimpinan Abah Anom mampu tampil sebagai pusat rehabilitasi narkoba secara efektif, sehingga banyak para pecandu narkoba yang berduyun-duyun datang ke pesantren ini untuk menyembuhkan penyakit kecanduan narkoba.

Di era kepemimpinan KH MA Sahal Mahfudh, Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen Margoyoso Pati mampu tampil sebagai pusat pemberdayaan ekonomi umat dengan program-program yang sistematis, fungsional, dan produktif.

Perubahan Pesantren

Dalam konteks keilmuan, banyak pesantren yang sukses mendirikan lembaga pendidikan sampai perguruan tinggi, seperti Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen Pati yang mendirikan Institut Pesantren Mathali’ul Falah (Ipmafa), Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang yang mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Anwar (Staiwar), Pondok Pesantren Lirboyo Kediri yang mendirikan Institut Agama Islam Tribakti (Iaitribakti), Pondok Pesantren Al-Muhibbin Tambakberas Jombang yang mendirikan Institut Agama Islam Bani Fattah (Iaibafa), Pondok Pesantren Tebuireng yang mendirikan Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy), Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang yang mendirikan Universitas Pesantren Darul Ulum (Unipdu), dan pesantren-pesantren lain.

Kekayaan ragam pesantren ini menuntut revitalisasi di semua elemen supaya pesantren relevan dengan tantangan globalisasi. Branding pesantren sekarang ini sudah menarik kelas menengah ke atas, tidak hanya kelas menengah ke bawah, sehingga branding pesantren harus direvitalisasi untuk menjadikan pesantren sebagai destinasi pendidikan nasional di Indonesia.

Ada beberapa hal mendesak yang harus direvitalisasi. Pertama, menggerakkan gerakan bersih dan sehat di pesantren. Asosiasi pondok pesantren (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) NU Jawa Tengah tampil sebagai pionir gerakan pesantrenku bersih pesantrenku sehat.

Gerakan ini seyogianya diikuti oleh semua pesantren, sehingga kesan pesantren yang kumuh berubah menjadi modern dan keren. Kedua, merumuskan kurikulum dengan distingsi dan ekselensi yang kuat, khususnya dalam bidang tafaqquh fiddin (pendalaman ilmu agama).

Program Pemerintah berupa Ma’had Aly dan Pendidikan Diniyah Mu’adalah (yang disetarakan) menjadi peluang bagus bagi pesantren untuk melahirkan kader-kader agamawan yang unggul untuk meneruskan estafet keilmuan KH MASahal Mahfudh, KH Maimun Zubair, KH AMustafa Bisri, KH Ma’ruf Amin, dan KH Said Aqil Siraj. Kelemahan pesantren salah satunya adalah metodologi pendidikan (Azyumardi Azra, 1997).

Metodologi pendidikan pesantren ini harus dikembangkan supaya pesantren mampu mengejar target kualitatif yang dicanangkan. Ketiga, melengkapi sarana prasarana, baik dalam sanitasi, olah raga, laboratorium pengetahuan dan sosial, dan lain-lain. Tiga langkah ini dilakukan untuk memastikan pesantren mampu tampil sebagai destinasi pendidikan nasional di Indonesia.

Selamat mengikuti Silatnas Gerakan Ayo Mondok, semoga pesantren mampu menjadi lembaga pendidikan yang unggul sebagai pusat peradaban.(50)

—Jamal Ma’mur Asmani, peserta Silatnas Gerakan Ayo Mondok dari Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU Jateng.

Sumber: Suara Merdeka