Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
Berita Terbaru

IPMAFA Profile

OBJECTIVES AND STRATEGIC DEVELOPMENT

SUPPORTING UNITS

IPMAFA Boards of Management

Volunterisme Sosial
Share
WhatsApp
Facebook
Twitter

MUSIM hujan membawa banyak bencana di berbagai daerah, seperti Pati, Jepara, Demak, Banjarnegara, dan hampir semua daerah di Jawa Tengah, dalam bentuk banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Dalam konteks ini maka spirit volunterisme (kesukarelawanan) sosial harus dibangkitkan di tengah bencana kemanusiaan. Islam sebagai agama yang dianut mayoritas bangsa ini mempunyai kepedulian besar terhadap volunterisme sosial.

Islam membawa semangat kepedulian sosial yang sangat tinggi. Nabi Muhammad sebagai manifestasi aplikasi ajaran Alquran dalam kehidupan sosial menjadi teladan yang baik dalam konteks kepedulian sosial.

Dalam Alquran, sifat Nabi Muhammad adalah rasul (seseorang yang diberi wahyu dan mengajarkan kepada manusia), min anfusikum (orang yang jejak rekamnya sudah diketahui dan teruji), ëazizun alaihi ma íanittum(berat dan sedih melihat sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan orang lain), harishun ëalaikum (proaktif mengembangkan potensi umat dalam berbagai bidang), dan bil muíminina raufun rahim (mempunyai sifat kasih sayang terhadap orang-orang mukmin).

Lima sifat ini yang mendorong Nabi mencurahkan segala kemampuan sampai titik darah penghabisan untuk mengeluarkan umat dari belenggu kemiskinan, kebodohan, penindasan, dan kezaliman menuju kehidupan yang bahagia, merdeka, dan sejahtera lahir dan batin.

Dalam hadis yang terkenal Nabi bersabda, ìsebaik- baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainî. KH MA Sahal Mahfudh (1994) menjelaskan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain secara luas lebih baik dari pada sesuatu yang manfaatnya terbatas.

Dari kaidah ini, banyak orang, khususnya ulama, yang mendarmabaktikan hidupnya untuk kebahagiaan orang lain, meskipun hidupnya penuh kekurangan. Kebahagiaannya terletak kepada kebahagiaan orang lain. Ia selalu menolong orang lain sekuat tenaga demi menghilangkan kesusahannya.

Ia meyakini bahwa pertolongan Allah bersama orang-orang yang menolong orang lain. Hal ini sesuai hadis Nabi, ìAllah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranyaî. Menurut Abdurrahman Wahid (1999), dalam Islam ada rukun tetangga yang diinspirasi QS AlBaqarah Ayat 177, yaitu, ìBukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitabkitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang membutuhkan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-meminta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janji apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.

Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orangorang yang bertaqwa.î Menurut Gus Dur (1999), mayoritas umat Islam masih memaknai ajaran agama secara individual, karena yang terpateri dalam jiwanya adalah rukun iman dan rukun Islam yang masih dipahami secara individualistik.

Oleh sebab itu, dibutuhkan jembatan untuk membumikan spirit kepedulian sosial Islam dalam rukun tetangga. Tiga prinsip utama dalam Alquran, yaitu persamaan, musyawarah, dan keadilan mengokohkan aplikasi rukun tetangga dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur.

Salah satu wujud utama rukun tetangga dalam Islam adalah kerja-kerja volunterisme atau filantrofi (kedermawanan) dalam bentuk zakat, infak, sedekah, dan amal saleh. Islam mengecam orang-orang yang tidak peduli kepada orang lain sebagai pendusta agama, yaitu orang yang membiarkan nasib anak yatim dan fakir miskin (AQodri Azizi, 2002).

Perintah Allah dan Nabi Muhammad sudah sangat jelas, bahwa kepedulian sosial adalah ruh utama agama Islam yang harus diejawantahkan umat Islam dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk kerja-kerja sosial yang bermanfaat bagi orang lain, baik dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Apatisme sosial adalah penyakit yang dibenci Islam karena pengingkaran terhadap prinsip kemanusiaan substansial yang diperjuangkan Islam.

Organisasi sosial keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah, harus menjadi yang terdepan dalam voluntarisme Islam. Para tokoh kedua ormas tersebut harus menggerakkan semangat voluntarisme kepada komunitasnya dengan paradigma baru yang produktif dengan menitikberatkan kepada pemberdayaan ekonomi dalam jangka panjang, yaitu mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan. (H15-14)

Penulis adalah Ketua Program Studi Manajemen Zakat Wakaf Ipmafa Pati dan Wakil Ketua PCNU Pati

Sumber: Suara Merdeka